SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pendahuluan
“Knowledge is power”
Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas mengungkapkan
pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia
adalah pengetahuan. Mengapa? Karena manusia dengan pengetahuannya mampu
melakukan olah-cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus
maju dan berkembang.
Dan proses olah-cipta tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan PENDIDIKAN. Pendidikan
menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata-laku dan
pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Bila kita lihat jauh ke
belakang, pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan
”adopsi” dari berbagai model pendidikan di masa lalu.
Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah
masih belum dapat terekonstruksi dengan sempurna. Namun bisa diasumsikan
”media pembelajaran” yang ada pada masa itu berkaitan dengan konteks
sosial yang sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi terhadap
lingkungan di kelompok sosialnya.
Pembahasan
Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda
yang menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan
ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia
(Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk
semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih
diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia
dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi
berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan
oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan
pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah peperangan.
Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun
1825 sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang
Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan
banyak korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran untuk peperangan
dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang
paling ampuh untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal
dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa
dapat dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup keuntungan
sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian yang dirugikan
karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian
bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah kas negara
penguasa.
Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah,
pemerintah mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh
masyarakat untuk mempermudah komunikasi antara pribumi dan Belanda.
Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian
pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat
tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah.
Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah
mempunyai kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin
keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari kaum
ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih
efektif, karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu
keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan
sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan
pribumi sendiri terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.
Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas
pendidikan anak Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan
berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia, seperti
kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern yang mampu
menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik
etis terutama sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis
agar upah kerja serendah mungkin untuk mencapai keuntungan yang
maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang dicanangkan sebagai
kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen padi
tidak terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan.
Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah satunya
untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan
rakyat.
Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena
krisis dunia, tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut
mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi
merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan
dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat termasuk
penyediaan tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah
dasar yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru (Mestoko,
1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap layak menjadi guru.
Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan
uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang
berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan.
Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan menjadi target
yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.
Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama,
gradualisme yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak
Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang
hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu
diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan,
pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan
dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah.
Ketiga, kontrol yang sangat kuat.
Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang
menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol
secara sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai pengeruh langsung
politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk merekrut pegawai.
Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan
sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordasi yang
menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar
yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak
sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yang
sistematis. Pendidikan dengan ciri-cri tersebut diatas hanya merugikan
anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan
ekonomi daripada perkembangan pengetahuan anak-anak Indonesia.
Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai
siasat untuk mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada
tahun 1907. Tipe sekolah desa yang dianggap paling cocok oleh Gubernur
Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari
kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan
disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut penduduk tidak
bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi tenaga kerja
demi pengamankan hasil panen.
Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah
menjadi madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren
dibumbui dengan pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap efektif,
sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan mengeluarkan biaya
(Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas
dua, dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru yang lebih baik
akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan
desa.
Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan
sejarah yang kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk
meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan
biaya yang murah, agar tidak membebani kas pemerintah. Politik etis
menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang
sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang
tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.
Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide
kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan
semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma
(romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang
(Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang.
Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang.
Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko Iciu
yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran
bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan
kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.
Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau
pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan
dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang
murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan
sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya
untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah.
Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia
setelah merdeka.
Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu
menyangkut penyesuaian bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan
kepada kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat
untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran
sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu,
pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta
huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya,
kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan
usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa,
bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161).
Program tersebut menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh
Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun
1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin (Mestoko dkk,
1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang
diprogramkan oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara di
Indonesia dan buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan kurang lebih
tidak berdampak pada rumah tangga kurang mampu.
Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama
dari sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus
gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang
hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas
gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong
royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta
(asing dan nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian
dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37).
Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu
sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta
Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah
dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan.
Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara
tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal.
Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup dalam
kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang
paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan
atas hidup dalam kemewahan.
Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit
dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka
diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa.
Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan
yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga
kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk
pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk
mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan
pemasukan pemerintah.
Setelah kita pelajari berbagai aliran pendidikan
secara umum baik aliran klasik, aliran baru maupun aliram modern, yaitu
merupakan pemikiran, pandangan, atau gagasan-gagasan tentang bagaimana
seharusnya melakukan pendidikan yang terjadi sebelum abad -19 (aliran
baru), mereaksi gagasan-gagasan abad 19 (aliran modern), perlu juga
dipelajari beberapa aliran pendidikan yang terjadi di masa sendiri.
Macam-macam aliran tersebut dapat diketahui dari pandangan-pandangan dan
lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh berbagai ahli pendidikan
di Indonesia. Macam dan jenis lembaga pendidikan tersebut adanya ragam
latar belakang dan kepentingan pendiriannya. Ada yang karena kepentingan
ras dan suku seperti sekolah serikat Ambon, karena kepentingan
memperjuangkan kaumsesamanya seperti sekolah Dewi Sartika dan sekolah
Kartini, karena kepentingan persatuan seperti sekolah Budi Utomo karena
kepentingan agama seperti sekolah-sekolah yang diadakan oleh
lemabaga-lembaga pendidikan yang dibawah naungan organisasi
kemasyrakatan dan keagamaan (NU, Muhammadyah, dsb) dan masih banyak lagi
latar belakang dan kepentingannya sehingga bermunculan berbagai lembaga
pendidikan di Indonesia. Walaupun demikian kesemuanya jenis lembaga
yang bermunculan tersebut bermaksud ingin mewujudkan yang berciri khas
atau sesuai dengan karakteristik sesuai dengan budaya bangsa Indonesia
sendiri.
Dari berbagai aliran penddidikan di Indonesia ada dua aliran pokok
yang perlu kita pelajari yaitu pendidikan Taman Siswa dan Pendidikan
INS. Hal ini antara lain karena latar belakang dan kepentingan
pendiriannya untuk semua bangsa secara umum tanpa melihat ras, suku,
daerah, wilayah , keyakinan, dan keagamaan, atau golongan tertentu saja,
sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Disamping itu waktu
pendiriannya terutama karena mereaksi pendidikan yang diselenggarakan
oleh pemerintak colonial Belanda yang sangat tidak menguntungkan
kepentingan bangsa Indonesia , baik kesempatan yang diberikan,
diskriminasi bangsa dan golongan, maupun kepentingan hasil pendidikan
misalnya hanya untuk menyiapkan pegawai rendahan yang dibutuhkan oleh
Belanda. Juga oleh karena gagasan atau pemikiran-pemikirannya dan
realisasi pendidikannya telah diakui oleh tokoh-tokoh dari aliran
pendidikan dunia. Dan yang tidak kalah pentingnya bahwa gagasan atau
pemikiranya telah dilaksanakan dalam pendidikan nasional sekarang ini
seperti system among, pelaksanaan sekolah kejuruan dan sebagainya.uraian secara mendalam akan diuraikan pada bahasan berikut ini.
PENDIDIKAN TAMAN SISWA
Riwayat Singkat Pendidikan Taman Siswa
Pendiri pendidikan Taman S atau lebih dikenal dengan perguruan taman
siswa ini adalah seorang bangsawan dari Yogyakarta bernama RM. Suwardi
Suryaningrat. Dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889dari ayah
bernama K.P.H. Suryaningrat .Setelah usia 39 tahun atau 40 tahun (tahun
jawa), tepatnya pada tanggal 23 pebruari 1928 berganti nama menjadi
Kihajar Dewantara. Pendidikan yang telah ditempuh dimulai dari Sekolah
Dasar Belanda (Europesche Lagere School), kemudian melanjutkan
pendidikan ke sekolah dokter di Stovia. Berhubung kekurangan biaya,
sekolah ini ditinggalkan, kemudian bekerja dan memasuki dunia politik
bersama sama lulusan Stovia yang lain seperti Dr.Cipto Mangun Kusuma dan Dr. Danurdirjo Setyabudi(Dr. Douwes Dekker).
pejuangan Sebelum Mendirikan Taman Siswa
Sebelum memasuki lapangan pendidikan, bersama dengan dua teman lainnya Dr.Cipto
Mangun Kusuma dan Dr. Danurdirjo Setyabudi, Kihajar Dewantara
mendirikan organisasi politik yang bersifat revolusioner, sehingga
terkenal dengan nama tiga serangkai pendiri Indische Partij (IP).
Dalam saat itu juga (1912) Kihajar Dewantara bersama dengan Dr. Cipto
Mangunkusuma mendrikan Komite Bumiputera yang bertujuan memprotes
adanya keharusan bagi rakyat Indonesia yang dijajah untuk merayakan
kemerdekaan Nederland dari penindasan Napoleon yang dengan paksa
mengumpulkan uang sampai kepelosok – pelosok.Dengan brosur pertama yang
berjudul “Seandainya aku orang Belanda”dari karyanya sendiri yang secara
singkat isinya tidak selayaknya bangsa Indonesia yang ditindas ikut
merayakan kemerdekaan dari bangsa Belanda yang menindasnya.
Karena dianggap bahaya, Kihajar Dewantara diinternir ke Bangka, kemudian dieksternir ke negeri Belanda atas permintaannya sendiri.Pada
massa ini dan ditempat inilah ia mendapatkan kesempatan untuk
mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran. Setelah 4 tahun, dengan
tanpa diminta putusan eksternir itu dicabut sehingga ia dapat pulang
kembali ke tanah airnya.
Sekembali ketanah airnya ia meneruskan perjuangan politiknya, dimulai
lagi dari menulis di surat kabar yang berjudul “ Kembali ke
Pertempuran” . ia menjadi sekretaris politik , dan menjadi redaktur tiga
majalah dari partai politik (National Indesche Partij) tersebut yaitu De Beweging, Persatuan India , dan Penggugah. Dengan aktifnya kedunia politik hidupnya hanya untuk masuk dan keluar penjara.
Karena semakin kejam Pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia,
lebih-lebih terhadap pergerakan rakyat Indonesia dan agar perjuangan
untuk kepentingan bangsa lebih bermanfaat maka Kihajar Dewantara
meninggalkan medan politik yang nampak, memasuki medan pendidikan dan
pengajaran (1921) dimulai dari mengajar pada Sekolah Adhidarma kepunyaan
kakaknya R.M Suryopranoto di Yogyakarta.
Perjuangan Setelah Mendirikan Taman Siswa
Setlah satu tahun mengajar di Adhidarma Kihajar Dewntara mendirikan
sekolah yang sesuai dengan cita-citanya sendiri (3 Juli !922) dengan
nama “Natinal Onderwisj Institut Taman Siswa ” yang kelak diubah menjadi
Perguruan Kebangsaan Taman Siswa. Sekolah ini mula – mula hanya
meliputi bagian Taman Anak dan Bagian Kursus Guru saja.
Perjuangannya mengalami banyak rintangan , tetapi semuanya dapat
diatasi berkat keberanian dan keuletan dari sifat yang dimilikinya, yang
dapat dilihat dari beberapa peristiwa berikut ini.
Dalam tahun 1924 ia dikenakan pajak rumah tangga, tetapi ia tidak
suka membayarnya , karena keluarganya hanya menempati dua kamar yang
dikelilingi kelas kelas di tengah perguruannya. Menurut taksirannya
seharusnya tidak kena pajak, dan barang-barang milik perguruan juga
seharusnya bebas dari pajak tersebut. Akhirnya barang-barang kepunyaan
Taman Siswa dilelang di depan umum. Tetapi kemudian pajak itu
dikembalikan setelah Kihajar Dewantara mengajukan protes. Dan atas
kedermawanan pembeli, barang – barang milik Taman Siswa yang terlelang
tersebut diserahkan kembali kepada Taman Siswa.
Rintangan berikutnya adanya ordonansi Sekolah partikelir yang
dikeluarkan pada tanggal 17 September 1932, dimana isinya : Sekolah
Partikelir harus minta izin dahulu; guru-guru sebelum memberi pelajaran
harus memiliki izin mengjar ;dan isi pelajaran tidak boleh melanggar
peraturan negeri dan harus sesuai dengan sekolah negeri.
Kihajar Dewantara menentangnya, karena ordonansi itu diangap
melampaui batas. Segera ia mengirim kawat protes kepada Gubernur
Jendral. Sikap tersebut mendapat sambutan dari partai-partai serta
banyak harian dan diperjuangkan pula di Volkraad. Akhirnya ordonansi itu
dibatalkan (1933).
Tipu muslihat lain dengan dikeluarkan “Larangan Mengajar”. Selama 2
tahun (1934-1936) Guru Taman Siswa yang terkena korban lebih dari 60
orang bahkan ada cabang Taman Siswa yang ditutup selama satu tahun.
Mulai bulan Pebruari taun1935 Taman siswa terkena lagi peraturan
tentang tunjangan anak yang mulai tahun ini hanya diberikan kepada
pegawai negeri yang anaknya bersekolah pada sekolah negeri,sekolah
partikelir mendapatkan subsidi,sekolah-sekolah lain yang dapat hak
memakai salah satu nama sekolah negeri, misalnya HIS, Voolks Schooldan
sebagainya. Oleh perjuangan Kihajar Dewantara akhirnya mulai tahun 1938
tunjangan anak bagi semua pegawai sama tanpa melihat sekolah yang
dimasuki.
Perjuangan lainnya adalah menentang Pajak Upah yang diberlakukan
tahun 1935. Kihajar Dewantara menentangnya karena dalam Taman Siswa
tidak ada majikan dan buruh ,tetapi atas dasar kekeluargaan. Tuntutannya
berhasil tahun 1940 sehingga guru-guru Taman Siswa dibebaskan dari
PajakUpah tersebut.
Pada jaman Jepang juga dikeluarkan peraturan tentang sekolah
partikelir, yang diperbolehkan hanya sekolah kejuruan saja (kecuali
sekolah guru), misalnya urusan rumah tangga, pertanian, perindustrian,
dan lain-lainya. Karena itu Taman Dewasa diubah menjadi Taman Tani,
Taman Madya dan Taman Guru dibubarkan. Pada tahun ini ia pindah ke
Jakarta karena diangkat sebagai salah seorang pemimpin Putera (Pusat
Tenaga Rakyat).
Pada zaman kemerdekaan ia pernah berturut – turut Mentri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama, Anggota dan Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Agung, Anggota Parlemen, serta mendapat gelar Doktor
Honoris Causa dalam Ilmu Kebudayaan dari Universitas Gajah Mada pada
tanggal 19 Desember 1956. Dan pada tanggal 26 april 1959 Kihajar
Dewantara meninggal dalam usia 70 tahun.
3. Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan (1945-1969)
Pendidikan dan pengajaran sampai tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor
pengajaran yang terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan
bagian dari kantor penyelenggara urusan pamong praja yang disebut
dengan Naimubu. Setelah di proklamasikannya kemerdekaan, pemerintah
Indonesia yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara, pendiri taman
siswa, sebagai menteri pendidikan dan pengajaran mulai 19 Agustus
sampai 14 November 1945, kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia
dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. tidak lama
kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12
Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946. karena masa jabatan yang
umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak bayak yang dapat diperbuat
oleh para mentri tersebut.
1. Tujuan Dan Kurikulum Pendidikan
Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia
mengalami lima kali perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat
keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K),
Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional pada masa
awal kemerdekaan amat menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini
dapat di pahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas
dari penjajah yang berlangsung ratusan tahun, dan masih ada gelagat
bahwa Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu
penanaman jiwa patrionisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban
guna mempertahankan negara yang baru diproklamasikan.
Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan
nasional Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan
jiwa patrionisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar
pendidikan dan pengajaran di sekolah. “Tujuan pendidikan dan pengajaran
ialah membentuk manusia yang cukup dan warga negara yang demokaratis
secara bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan tanah air”.
Kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an di tujukan untuk:
• meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
• meningkatkan pendidikan jasmani,
• meningkatkan pendidikan watak,
• menberikan perhatian terhafap kesenian,
• menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan
• mengurangi pendidikan pikiran.
Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yang gagal, maka melalui TAP MPRS No.
XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan kebudayaan di adakan
perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu, “Membentuk
manusia pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang
dikenhendaki oleh pembukaan UUD 1945”.
2. Sistem Persekolahan
Sistem pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya
melanjutkan apa yang dikembangkan pada zaman pendudukan jepang. Sistem
dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan
menengah terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah
tinggi. Sekolah menengah pertama yang berlangsung tiga tahun mempunyai
beberapa jenis, yaitu sekolah menegah pertama (SMP) sebagai sekolah
menengah pertama umum; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus
kerajinan negeri (KKN), sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP)
sebagai sekolah menengah pertama kejuruan; serta sekolah guru B (SGB)
dan sekolah guru C (SGC) sebagai sekolah menengah pertama keguruan.
Sekolah menegah tinggi berlangsung tiga tahun, meliputi sekolah menengah
tinggi (SMT) sebagai sekolah menengah umum, dan sekolah kejuruan berupa
sekolah teknik menengah (STM), sekolah teknik (ST), sekolah guru
kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA) dan kursus guru.
4. Pedidikan di Indonesia Selama PJP I (1969-1993)
Pembangunan jangka panjang meliputi lima pelita, yaitu pelita I-V yang
dimulai pada tahun 1969/1970 hingga tahun 1993/1994, atau 25 tahun.
Selama kurun tersebut, pendidikan Indonesia Indonesia mengalami
kemajuan. Hal ini terutama di tandai oleh semakin luasnya kesempatan
untuk memperoleh pendidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan; meningkatnya jumblah sarana dan prasarana pendidikan yang
tersedia serta tenaga yang terlibat dalam pendidikan; meningkatnya mutu
pendidikan dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya; semakin mantapnya
sistem pendidikan nasional dengan di sahkan undang-undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang system pendidikan nasional beserta sejumblah peraturan
pemerintah yang menyertainya.
Namun demikian, hingga berakhirnya pelita V, pendidikan nasional masi di
hadapkan dengan berbagai tantangan baik kuantitatif maupun kualitatif.
Secara kuantitatif, tantangan yang di hadapi menyangkut pemerataan
kesempatan untuk mamperoleh pendidikan khususnya pendidikan dasar,
sementara secara kualitatif tantangan yang di hadapi berkenan dengan
upaya mutu pendidikan, peningkatan relefansi pendidikan dengan
penbangunan, efektifitas dan efisiensi pendidikan.
5. Pendidikan di Indonesi Dewasa Ini
1. wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun
Pada tanggal 2 mei 1994 wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk
tingkat SLTP dicanangkan. Sepuluh tahun sabelumnya, tepatnya pada
tanggal 2 mei 1984, Indonesia juga memulai wajib belajar 6 tahun untuk
tingkat SD, bersamaan dengan peresmian berdirinya Universitas terbuka.
Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mempunyai 2tujuan utama yang
berkaitan satu sama lain. Pertama, meningkatkan pemerataan kesempatan
untuk memperoleh pendidikan bagi setiap kelompok umur 7-15 tahun. Kedua
untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia Indonesia hingga mencapai
SLTP. Dengan wajib belajar, maka pendidikan minimal bangsa Indonesia
semula 6 tahun ditingkatkan menjadi 9 tahun.
Sasaran-sasaran wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam pelita VI
adalah, pertama, meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) tingkat SLTP
menjadi 66,19% dari keadaan padaawal pelita V yang mencapai 52,67%.
Kedua, meningkatkan jumblah lulusan SD/MI yang tertampung di SLTP dan
MTs sebesar 5400.000, yaitu dari 2,56 juta pad tahun 1993/1994 menjadi
3,10 juta pada tahun 1998/1999. Ketiga, tercapainya jumblah guru SD yang
minimal berkualifikasi D-II sebayak 80%, guru SLYP berkualifikasi D-III
sekitar 70%. Tantangan yang di hadapi oleh program wajip belajar
pendidikan dasar 9 tahun memang lebih besar jika dibandikan dengan wajib
belajar 6 tahun. Alasnya antara lain, pertama, pada saat dimulainya
wajip belajar pendidikan dasar sembilan tahun, baru skitar separuh dari
kelompok umur 13-15 tahun yang berada disekolah. Kedua, daya dukung
berupa dana, sarana, dan tenaga yang dimiliki oleh Indonesia untuk
melaksanakan wajip belajar pendidikan dasar 9 tahun tidak lagi sebanyak
pada saat dilaksanakan wajib belajar 6 tahun. Misalnya, pembangunan SD
dalam jumblah besar melalui inpres. Ketiga, guna menampung 6,26 juta
anak usia 13-15 tahun di SLTP diperlukan sarana, biaya, dan tenaga yang
tidak sedikit. Sejak di mulai pada tahun 1994, program wajip belajar
pendidikan dasar sembilan tahun mencapai banyak kemajuan.
Indikator-indikator kuantitatif yang di catat menunjukan bahwa angka
partisipasi meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya ruang belajar,
jumblah guru, dan fasilitas belajar lainnya .
2. pelaksanaan kurikulum 1994
Kurikulum 1994 di berlakukan secara bertahap mulai tahun ajaran
1994/1995. kurikulum 1994 disusun dengan maksud agar proses pendidikan
dapat selalu menyesuakan diri dengan tantangan yang terus barkembang,
sehingga mutu pendidikan akan semakin meningkat. Kurikulum 1984 yang
telah berjalan 10 tahun dipandang perlu untuk diperbaharui karena
menurut hasil-hasil pengkajian, ditemikan adanya materi kurikulum yang
tmpang tindih dan memerlukan penambahan. Misalnya tumpang tindih antara
materi PMP, Sejarah Nasional, dan PSPB yang dalam kurikulum 1994
strukturnya lebih di sederhanakan. Disahkannya UU No 2/1989 tentang
system Pendididkan Nasional yang diikuti oleh berbagai peraturan
pemerintah mempuyai implikasi pada perlunya kurikulum pendidikan
mengalami penyesuaian. Menyusul terjadinya informasi, dilakukan kembali
revisi atas kurikilum 1994 dengan menata kembali struktur programnya
yang kemudian dikenal dengan kurikulum 1994 yang disempurnakan.
`
Pustaka:
Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka Jaya. Jakarta.
Munandar, Agus Aris. 1990. Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15. Tesis Magister Humaniora. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Santiko, Hariani. 1986. “Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat Majapahit,” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, buku IIb Aspek Sosial Budaya, Cipanas, 3—9 Maret 1986. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, halaman 304—18.