Anggaran Daerah untuk Pendidikan Masih Kecil
Red: Andi Nur Aminah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan Indra
Charismiadji mengatakan, alokasi anggaran daerah untuk pendidikan masih
kecil. Bahkan ada daerah yang hanya mengalokasikannya di bawah satu
persen.
"Apabila pemerintah daerah menyebutkan alokasi anggaran untuk
pendidikan besar, hal itu sebenarnya merupakan anggaran pemerintah pusat
(APBN). Di antaranya untuk gaji dan kesejahteraan guru," katanya di
Jakarta, Selasa (12/4).
Padahal, lanjutnya, UU No 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah jelas menetapkan minimal 20 persen dari APBD diperuntukkan bagi pendidikan. Namun, sejauh ini daerah yang mencapai alokasi sebesar itu masih jarang dan sebagian besar diperuntukkan bagi kegiatan bukan pendidikan.
Menurut Indra, hal ini disebabkan peruntukan dana pendidikan bagi pemerintah daerah masih terbatas. Yakni untuk rehabilitasi sekolah dan pengadaan buku saja. Sementara dana untuk pengadaan peralatan seperti komputer tidak pernah tersedia.
Ia mengatakan, dengan peruntukan yang terbatas tersebut membuat penyerapan anggaran pendidikan juga rendah. Hal ini juga menjelaskan mengapa alokasi anggaran pendidikan di daerah tidak pernah tinggi.
Indra mengingatkan masuknya Indonesia dalam pasar tunggal Masyarakat Ekonomi ASEAN menuntut tersedianya tenaga kerja berkualitas agar mampu bersaing. "Tentunya hal ini harus didukung pendidikan yang mumpuni," katanya.
Kecilnya alokasi anggaran pendidikan di daerah dapat dilihat dari penyelenggaraan ujian nasional (UN). Buktinya, hanya beberapa sekolah saja yang siap untuk mengikuti ujian nasional berbasis komputer (UNBK), sedangkan lainnya masih menggunakan kertas soal.
Data menyebutkan dari 50 ribu sekolah di Indonesia yang mengikuti UNBK hanya 4.400 sekolah. Itu pun dengan berbagai kendala di antaranya jaringan internetnya tidak bagus dan komputer tidak mencukupi.
Indra menjelaskan dengan asumsi harga laptop dengan spesifikasi paling tinggi Rp 5 juta per unit, maka untuk kebutuhan satu sekolah minimal 100 unit setidaknya dibutuhkan Rp 500 juta. Kenyataannya alokasi anggaran tahun 2015 rata-rata di bawah Rp 18 juta.
Ia menduga rendahnya alokasi anggaran pendidikan di daerah karena kepala daerah masih banyak yang ragu atau bahkan tidak mampu dalam mengelola dan menyusun program pendidikan. "Masih banyak kebijakan yang hanya meniru dari daerah lain, padahal untuk mengembangkan pendidikan di daerah perlu kreativitas," ujar dia.
Indra menyarankan bagi kepala daerah yang belum sanggup untuk membuat program sendiri karena khawatir atau apapun alasannya sebaiknya merekrut tenaga konsultan pendidikan yang paham untuk membantu membuat program.
Padahal, lanjutnya, UU No 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah jelas menetapkan minimal 20 persen dari APBD diperuntukkan bagi pendidikan. Namun, sejauh ini daerah yang mencapai alokasi sebesar itu masih jarang dan sebagian besar diperuntukkan bagi kegiatan bukan pendidikan.
Menurut Indra, hal ini disebabkan peruntukan dana pendidikan bagi pemerintah daerah masih terbatas. Yakni untuk rehabilitasi sekolah dan pengadaan buku saja. Sementara dana untuk pengadaan peralatan seperti komputer tidak pernah tersedia.
Ia mengatakan, dengan peruntukan yang terbatas tersebut membuat penyerapan anggaran pendidikan juga rendah. Hal ini juga menjelaskan mengapa alokasi anggaran pendidikan di daerah tidak pernah tinggi.
Indra mengingatkan masuknya Indonesia dalam pasar tunggal Masyarakat Ekonomi ASEAN menuntut tersedianya tenaga kerja berkualitas agar mampu bersaing. "Tentunya hal ini harus didukung pendidikan yang mumpuni," katanya.
Kecilnya alokasi anggaran pendidikan di daerah dapat dilihat dari penyelenggaraan ujian nasional (UN). Buktinya, hanya beberapa sekolah saja yang siap untuk mengikuti ujian nasional berbasis komputer (UNBK), sedangkan lainnya masih menggunakan kertas soal.
Data menyebutkan dari 50 ribu sekolah di Indonesia yang mengikuti UNBK hanya 4.400 sekolah. Itu pun dengan berbagai kendala di antaranya jaringan internetnya tidak bagus dan komputer tidak mencukupi.
Indra menjelaskan dengan asumsi harga laptop dengan spesifikasi paling tinggi Rp 5 juta per unit, maka untuk kebutuhan satu sekolah minimal 100 unit setidaknya dibutuhkan Rp 500 juta. Kenyataannya alokasi anggaran tahun 2015 rata-rata di bawah Rp 18 juta.
Ia menduga rendahnya alokasi anggaran pendidikan di daerah karena kepala daerah masih banyak yang ragu atau bahkan tidak mampu dalam mengelola dan menyusun program pendidikan. "Masih banyak kebijakan yang hanya meniru dari daerah lain, padahal untuk mengembangkan pendidikan di daerah perlu kreativitas," ujar dia.
Indra menyarankan bagi kepala daerah yang belum sanggup untuk membuat program sendiri karena khawatir atau apapun alasannya sebaiknya merekrut tenaga konsultan pendidikan yang paham untuk membantu membuat program.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar